JKTwebHOSTING
Hosting Guru
Umumnya, masyarakat belum mengenal Bell’s Palsy, yang seringkali dikaitkan dengan Stroke. Sebenarnya apa itu? Bell’s Palsy adalah penyakit gangguan sistem saraf otak ketujuh (syaraf fascialis, yang mengatur pergerakan otot-otot wajah) yang menyebabkan kelumpuhan satu sisi wajah.
Kasus Bell’s Palsy terjadi karena adanya gangguan akibat pembengkakan pada syaraf, membuat impuls motorik otot tersumbat dan tidak dapat bekerja. Akibatnya otot-otot pada organ --yang langsung berhubungan dengan syaraf-- tersebut menjadi tidak berfungsi, sehingga organ pun menjadi lumpuh.
Bell’s Palsy sering timbul mendadak. Kemunculannya ditandai kelopak mata yang tidak bisa menutup, nyeri di kepala, mulut kehilangan rasa, sulit untuk berbicara, rasa kebas di wajah, yang akhirnya separuh wajah lumpuh.
Terpapar Hembusan AC
Banyak yang mengira Bell’s Palsy merupakan saudara kembar Stroke, sebab gejalanya mirip. Padahal pada Stroke, otot wajah yang lumpuh hanya bagian bawah sehingga penderita masih dapat mengerutkan dahi dan menutup mata. Sedangkan pada Bell’s Palsy, seluruh sisi wajah yang terkena akan terpengaruh. Selain itu, Stroke juga menyebabkan lumpuhnya separuh badan, termasuk lengan dan tungkai.
Bell’s Palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut (kelumpuhan otot wajah) yang proses gejalanya berlangsung cepat. Ia menyerang usia 15-50 tahun, dengan resiko tertinggi pada wanita.
Tidak didapati perbedaan antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebih, seperti terkena hembusan AC secara terus menerus.
Di Indonesia, insiden Bell’s Palsy terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun. Sebanyak 63% menyerang wajah sebelah kanan, dan 23% mengenai kedua sisi wajah.
Tanpa Cacat
Seperti penyakit Stroke, pasien Bell’s Palsy disarankan ditangani dalam waktu 72 jam. Bila tidak --meski masa akut selama 7 hari-- kondisi klinis akan memburuk, sesuai yang ditunjukkan data penelitian.
Pengobatan yang dapat dilakukan berupa terapi obat dan terapi fisik untuk mempercepat pemulihan. Bila pada masa akut pasien mendapatkan terapi kortikosteroid --menggunakan Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari-- kemungkinan akan pulih total lebih cepat tanpa meninggalkan cacat.
Sekitar 60-85% penderita penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam 3 minggu dan hanya 15% yang membutuhkan waktu 3 bulan. Tetapi terdapat 30% yang cacat seumur hidup, akibat pasien tidak kunjung membaik selama 4 bulan.
Penanganan Berlebihan
Pencegahan penyakit ini, dapat dilakukan dengan cara menghindari mandi di malam hari. Juga kebiasaan langsung mandi atau mencuci muka sehabis berolahraga, karena temperatur tubuh yang tengah meningkat. Termasuk menghindari terpaan angin dan udara dingin, yang langsung ke wajah.
Meski penyebabnya masih dalam penelitian, namun banyak yang menyebutkan karena infeksi virus --khususnya virus Herpes. Hal lain yang diduga kuat sebagai penyebab adalah faktor genetik. Sedangkan Stroke terjadi karena jaringan otak rusak, akibat pembuluh darah otak tersumbat atau pecah.
Jadi, Bell’s Palsy memang berbeda. Untuk itu, kita perlu memiliki pengetahuan dan pengenalan yang cukup. Jangan sampai kita menduga pasien terkena Stroke, sehingga penanganan dilakukan secara berlebihan dan tidak tepat.
Kasus Bell’s Palsy terjadi karena adanya gangguan akibat pembengkakan pada syaraf, membuat impuls motorik otot tersumbat dan tidak dapat bekerja. Akibatnya otot-otot pada organ --yang langsung berhubungan dengan syaraf-- tersebut menjadi tidak berfungsi, sehingga organ pun menjadi lumpuh.
Bell’s Palsy sering timbul mendadak. Kemunculannya ditandai kelopak mata yang tidak bisa menutup, nyeri di kepala, mulut kehilangan rasa, sulit untuk berbicara, rasa kebas di wajah, yang akhirnya separuh wajah lumpuh.
Terpapar Hembusan AC
Banyak yang mengira Bell’s Palsy merupakan saudara kembar Stroke, sebab gejalanya mirip. Padahal pada Stroke, otot wajah yang lumpuh hanya bagian bawah sehingga penderita masih dapat mengerutkan dahi dan menutup mata. Sedangkan pada Bell’s Palsy, seluruh sisi wajah yang terkena akan terpengaruh. Selain itu, Stroke juga menyebabkan lumpuhnya separuh badan, termasuk lengan dan tungkai.
Bell’s Palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut (kelumpuhan otot wajah) yang proses gejalanya berlangsung cepat. Ia menyerang usia 15-50 tahun, dengan resiko tertinggi pada wanita.
Tidak didapati perbedaan antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebih, seperti terkena hembusan AC secara terus menerus.
Di Indonesia, insiden Bell’s Palsy terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun. Sebanyak 63% menyerang wajah sebelah kanan, dan 23% mengenai kedua sisi wajah.
Tanpa Cacat
Seperti penyakit Stroke, pasien Bell’s Palsy disarankan ditangani dalam waktu 72 jam. Bila tidak --meski masa akut selama 7 hari-- kondisi klinis akan memburuk, sesuai yang ditunjukkan data penelitian.
Pengobatan yang dapat dilakukan berupa terapi obat dan terapi fisik untuk mempercepat pemulihan. Bila pada masa akut pasien mendapatkan terapi kortikosteroid --menggunakan Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari-- kemungkinan akan pulih total lebih cepat tanpa meninggalkan cacat.
Sekitar 60-85% penderita penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam 3 minggu dan hanya 15% yang membutuhkan waktu 3 bulan. Tetapi terdapat 30% yang cacat seumur hidup, akibat pasien tidak kunjung membaik selama 4 bulan.
Penanganan Berlebihan
Pencegahan penyakit ini, dapat dilakukan dengan cara menghindari mandi di malam hari. Juga kebiasaan langsung mandi atau mencuci muka sehabis berolahraga, karena temperatur tubuh yang tengah meningkat. Termasuk menghindari terpaan angin dan udara dingin, yang langsung ke wajah.
Meski penyebabnya masih dalam penelitian, namun banyak yang menyebutkan karena infeksi virus --khususnya virus Herpes. Hal lain yang diduga kuat sebagai penyebab adalah faktor genetik. Sedangkan Stroke terjadi karena jaringan otak rusak, akibat pembuluh darah otak tersumbat atau pecah.
Jadi, Bell’s Palsy memang berbeda. Untuk itu, kita perlu memiliki pengetahuan dan pengenalan yang cukup. Jangan sampai kita menduga pasien terkena Stroke, sehingga penanganan dilakukan secara berlebihan dan tidak tepat.