Sumber: http://www.master.web.id/mwmag/issue/05/content/hosting-reseller/hosting-reseller.html
[h=1]Jangan Menjadi Reseller…[/h]… jika niat Anda bergerak di bidang hosting.
Sudah ada empat klien baru yang mendaftar ke tempat Anda. Tapi sudah hampir seminggu pula billing perusahaan webhosting tempat account reseller Anda berada bermasalah. Anda terancam kehilangan klien-klien baru. Sementara itu, dua account klien lama Anda tidak bisa mengecek emailnya. Anda tidak tahu masalahnya di mana, sehingga Anda bertanya pada support teknis webhosting penyedia account reseller. Tapi sialnya, baik email maupun telepon si webhosting tidak ada yang merespon. Padahal siang malam Anda dimaki-maki klien Anda yang kesal karena mereka merasa kehilangan peluang karena selama berhari-hari tidak dapat mengecek email. Anda terjepit di antara kedua belah pihak, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Kisah di atas suatu hari kadang menjadi kenyataan seorang reseller. Tapi bagi para reseller yang menawarkan jasa hosting pula, kondisi-kondisi pembuat stres seperti ini bisa menjadi makanan sehari-hari yang harus ditelan mentah-mentah meskipun pahit. Artikel ini hendak memaparkan kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut agar bisa dijadikan bahan pertimbangan sebelum Anda memutuskan menjadi reseller penyedia hosting.
[h=2]Apa itu Reselling?[/h]Konsep reselling umum dijumpai di berbagai bidang, dari consumer goods hingga layanan hitech. Seorang produsen yang memiliki barang atau jasa tertentu menawari pihak ketiga agar memasarkan kembali produknya. Sebagai imbalan, si reseller memperoleh potongan atau kompensasi lain. Bagi si produsen, produknya berpotensi terjual lebih banyak karena kini ada lebih dari satu pihak yang menawarkan. Selain itu, beban support teknis atau layanan pelanggan bisa berkurang, karena ada lapisan-lapisan reseller yang menampung dulu keluhan klien sebelum keluhan-keluhan tersebut sampai ke produsen. Semua diuntungkan. Win-win solution.
Di dunia hosting, konsep reselling malah lebih umum. Hampir semua perusahaan webhosting, lokal maupun asing, —kecuali mereka-mereka yang reseller tentunya—menawarkan program reseller. Program reseller yang tradisional kurang lebih seperti ini: pertama kita membeli account webhosting tertentu, setelah itu account kedua atau ketiga dst akan diberi potongan (yang persentasinya bisa membesar seiring jumlah account semakin banyak). Reseller hidup dari untung tipis potongan tersebut. Rata-rata potongan yang diberikan adalah antara 10% hingga 25%, meskipun ada pula yang memberi lebih. Program reseller shared hosting yang lebih baru umumnya menawarkan konsep yang disebut “farm”: kita membeli account shared hosting tipe tertentu yang ruang disknya cukup besar, katakanlah 1000–2000 MB, lalu account tersebut dapat kita isi dengan banyak domain atau subuser. Ada perusahaan yang mencharge lagi sejumlah biaya per domain tambahan, ada pula yang tidak. Lalu ada juga program lain yang bersifat profit sharing, contohnya hostopia (hostopia.com) yang menawarkan pembagian 50 : 50.
[h=2]Untuk Siapa Program Reseller?[/h]Pada dasarnya, program reseller cocok untuk para desainer Web atau programer yang mempunyai beberapa klien. Daripada membiarkan si klien mencari tempat hosting sendiri, dan kita harus berurusan dengan beberapa perusahaan hosting berbeda, kita dapat membuka account reseller di sebuah perusahaan hosting lalu mengisinya dengan situs-situs klien. Selain ada sedikit diskon, kita juga jadi lebih enak memaketkan account hosting bersama jasa layanan pembuatan situs yang kita tawarkan. Lalu karena kita reseller, setidaknya kita akan sedikit lebih diperhatikan support teknis perusahaan webhosting manakala account kita atau klien kita mengalami masalah.
Namun ketika account reseller ini hendak kita manfaatkan untuk berjualan hosting, ada berbagai isu yang akan muncul.
[h=2]Saingan[/h]Yang pertama, kita harus bersaing dengan perusahaan hosting penyedia reseller itu sendiri. Dengan hanya menjadi reseller, kemungkinan dana Anda terbatas. Anda tidak punya cukup banyak resource untuk menyewa colocation atau dedicated server. Sementara perusahaan hosting yang lebih besar punya budget untuk beriklan, memberikan trial account, mencetak brosur, membuat CD dan manual, membuat program promosi tertentu. Anda?
Diperparah lagi, cukup disayangkan saat ini rata-rata perusahaan hosting—besar maupun kecil—selain menyediakan program reseller juga menjual ritel langsung kepada klien. (Karena merasa lahan yang ada sempit? Atau cuma rakus?) Setahu saya belum ada perusahaan hosting di Indonesia yang hanya menerima reseller misalnya, atau memberikan rentang harga yang cukup jauh antara paket ritel dan reseller untuk membantu reseller dari segi harga. Bahkan ada perusahaan shared hosting yang nampak kurang memperhatikan nasib atau privacy sang reseller. Mereka menggunakan hostname NS (name server) yang langsung mencerminkan nama perusahaannya, serta “membranding” servernya dengan nama perusahaan padahal itu tidak perlu. Misalnya, di server Unix, memasang /etc/motd atau mengeset hostname yang mencerminkan nama si perusahaan hosting. Artinya, klien si reseller akan langsung mengetahui bahwa account yang diperolehnya dari si reseller adalah account dari perusahaan hosting ybs. Idealnya perusahaan shared hosting menggunakan NS anonim atau “netral”, atau menawarkan IP dan NS sendiri kepada reseller-resellernya.
[h=2]Klien[/h]Masalah kedua, yang lebih mengakar dan sulit sekali dikesampingkan, adalah perilaku calon pelanggan. Praktis semua calon pelanggan akan mencari perusahaan hosting yang bukan reseller, yakni, yang memiliki server sendiri atau kalau perlu data center sendiri. Pelanggan tidak suka harus berurusan dengan reseller, karena rantai ketergantungan akan semakin panjang. Pertanyaan teknis tertentu kadang harus dioper-oper dulu dari reseller ke si pemilik server, karena reseller sering tidak tahu (atau tidak bisa tahu) masalahnya di mana. Oper-operan itu lama, dan kita semua tahu bahwa semakin hari klien semakin ingin instant gratification di segala aspek kehidupannya.
[h=2]Identitas[/h]Karena klien tidak menyukai reseller, maka pada umumnya reseller akan menutupi identitas diri bahwa mereka reseller. Sayangnya, identitas ini sulit sekali ditutupi, baik secara teknis maupun nonteknis. Meskipun NS sudah anonim atau /home ditutup-tutupi dengan mematikan atribut x-nya, server shared berbasis Unix memiliki /etc/passwd global yang dapat dibaca semua orang. Dari situ dapat diketahui account-account apa saja yang ada di server. Dengan sistem virtual server, seperti dengan Ensim, /etc/passwd memang dapat dibedakan per virtual server, namun kita masih dapat melihat daftar alamat IP yang aktif pada mesin tersebut dengan mengintip /proc atau dengan perintah ifconfig misalnya. IP ini lalu dapat dicek kepemilikannya lewat situs seperti www.arin.net atau www.netcraft.co.uk. Seandainya secara teknis sudah ditutupi di sana-sini pun, si klien dapat langsung bertanya kepada Anda, “Anda ini reseller atau bukan?” Nah, apa jawaban Anda?
Berbohong, alias mengaku diri bukan reseller, menurut saya adalah sikap yang keliru. Pair Networks (www.pair.com), perusahaan shared webhosting besar yang berbasis di Pittsburgh misalnya, juga tidak menyarankan hal ini (lihat www.pair.com/pair/support/reseller/). Kebohongan akan harus ditutupi oleh kebohongan-kebohongan berikutnya, dan sekali terbongkar, maka kepercayaan orang akan hilang. Untuk berbisnis jangka panjang, strategi yang terbaik adalah bersikap jujur.
[h=2]Kompetensi Inti[/h]Dengan hanya menjadi reseller, kemungkinan Anda bukanlah orang yang memiliki sumber daya teknis yang cukup sebagai penyedia hosting. (Andai Anda memiliki staf dan keahlian teknis, maka kemungkinan besar Anda akan menyewa atau membeli dan memaintain server sendiri bukan?) Jika Anda mencoba menjadi penyedia hosting padahal kemampuan inti Anda ada di jasa desain atau pemrograman, maka lambat laun Anda akan digerogoti oleh masalah.
Tentu saja, di halaman situsnya perusahaan penawar program reseller akan mengatakan “trouble free” atau “kendali penuh (dengan control panel yang mendukung reseller)” atau “mudah sekali”. Tapi produk seperti account webhosting tidaklah sama dengan barang seperti onderdil motor atau CD musik. Produk ini terkait erat dengan layanan dan ketergantungan terhadap vendornya (juga sebetulnya terhadap pihak-pihak di “hulu” mata rantai, seperti data center/ISP dan penyedia bandwidth). Jika hardware server si perusahaan hosting bermasalah, Anda sebagai reseller akan ikut tertimpa musibah. Jika server si perusahaan hosting dicrack orang, siapa tahu data Anda atau klien Anda yang jadi korban. Dan jika kualitas support teknis atau billing si perusahaan hosting mengendur, maka kualitas Anda pun otomatis jadi jelek pula. Anda ditekan dari sisi klien, sementara Anda tak berdaya karena tak pernah memiliki akses penuh/root di server. Belum lagi kadang ada perasaan tertipu yang menambah Anda semakin stres.
[h=2]Penutup[/h]Jadi, kalau tidak ingin stres dan ingin bisa berkonsentrasi pada bidang keahlian Anda, ada baiknya mempertimbangkan kembali melakukan reselling account hosting. Tentu saja saya tidak berkata bahwa reselling itu jelek, hanya saja bahwa melakukan reselling dengan memposisikan diri sebagai penyedia hosting itu memiliki kendalanya tersendiri. (sh)